Kidung Malam (1)
Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang
bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan
kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam
itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam
tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih
dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai
tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga,
baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja.
Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai,
karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat
mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali
mereka melantunkan mantra kidungan; Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh
ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni
atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan
sirna
Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan
gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam
dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja.
Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.
“Kakanda Destarastra”
“O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah.”
“Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu.”
“Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura.”
“Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil,
karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura.”
“Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra,
namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan
waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh
karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran
di tengah-tengah kegelisahan hatiku.”
“Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?”
“Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura.”
“O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi
milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan”
“Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?”
“Perang saudara kakanda”
Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan,
yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa
yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke
arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya
Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra,
agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran
pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.
“Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?”
“Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu”
“Apa yang harus aku perbuat?”
“Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam.”
Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.
“Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari.”
“Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan
adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang
hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini.”
“Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang
sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama
kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi
Hastinapura.”
“Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan.”
“Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu”
“Peri hal permintaan anak-anak kita”
“Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku.”
“Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita.”
“Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak
kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah
sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar
Hastinapura.”
“Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah
salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu
Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta
Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa
jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut
haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan
Yamawidura.”
“Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari
Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat
Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk
mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi
kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu
serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita
beri kesempatan.?”
“Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan.”
“Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini
sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati
bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan
ringanlah jadinya.”
Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari
mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra
melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya
dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan
mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu
menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup terdengar dari
kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi .... Dan malam
pun berlalu dengan selamat.
Kidung Malam (2)
Tahta dan Kewibawaan
Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam
jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan.
Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan
mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar
kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja
memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari
Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung.
Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma,
Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana,
nayaka dan para kawula.
Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura
yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika.
Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya
yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara
Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan
negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya,
Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua
permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan
menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan
kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta
Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan,
kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa
nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin
nikmat rasanya.
Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah
yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga
Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat
menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan
bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara
mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta
akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti
kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.
Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan
agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri,
bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di
Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan
dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan
Hastinapura.
“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu
memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara
besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”
“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara
Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah
garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati
menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah
upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”
“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”
“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan
kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin
berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama
dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” sahut Bisma.
“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman
Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan
simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada
mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika
tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa
di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa
Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta
merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak
Pandudewanata.”
Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para
sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah
diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat
menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong
Kunthi dan ke lima anaknya.
Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi
alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu.
Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul,
rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak
Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek,
untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika
Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan
air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah
lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada
anak-anak Pandudewanata.
“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!”
“Hidup anak Pandu!”
“Hiduuup!”
Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling
berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran
kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna,
ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman
rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas
di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat
Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu
menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.
Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju
kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra
termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.
“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak
berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak
Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu
artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan
isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta
Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”
“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini?
Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di
tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa.
Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak
kita.”
Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari
mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas
hati Dewi Gendari.
Kidung Malam (3)
Menyalahgunakan Kekuasaan
Beberapa pekan berlalu, Kunthi beserta kelima anaknya tinggal di Keraton
Hastinapura. Walaupun sejak kecil hidup di pegunungan, mereka tidak
canggung menjalani hidup mewah di istana. Karena di Saptarengga Begawan
Abiyasa menggembleng dan membekali mereka dengan berbagai ilmu,
unggah-ungguh, dan hukum tatanegara. Maka tidak mengherankan, dalam usia
belia, Pandawa telah menunjukkan kematangannya.
Patih Sengkuni dan ke seratus anak Destarastra, tidak senang melihat
kelebihan bocah-bocah Pandawa. Padahal usia mereka sebaya dengan Kurawa.
Rasa dengki dan benci merambat dari dasar hati. Mereka lupa bahwa para
Pandawa adalah adik keponakannya, yang seharusnya ikut bangga karena
kelebihannya. Tetapi sayang, hati mereka ditutup oleh kemewahan. Pikiran
mereka dibelenggu oleh kekuasaan dan bahkan mata mereka silau akan
tahta.
Harapan Destarastra memboyong Pandawa ke keraton, agar diantara Pandawa
dan Kurawa hidup rukun berdampingan Namun harapan tersebut tidak
kesampaian. Sesama cucu Abiyasa itu ibaratnya air dan minyak, tidak
pernah rukun. Duryudana dan adik-adiknya selalu mencari dan membuat
masalah. Dengan berlindung dibawah kekuasaan Prabu Destarastra, para
Kurawa memamerkan kekuatan untuk menghasut kawula Hastinapura. supaya di
mata rakyat, Pandawa tidak memiliki kepantasan menjadi raja.
“Hai Para kawula! Tidak sadarkah kalian, bahwa Abiyasa telah membelokkan
tahta Hastinapura? Bukankah yang berhak menjadi raja adalah putra
sulung laki-laki dari raja yang berkuasa? Siapakah anak sulung Abiyasa,
pada waktu ia menjadi raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana?”
“Destarastraaa!” teriak para kawula di kasatriyan Banjarjungut.
“Dan siapakah anak sulung Prabu Destarastra, raja kita sekarang?”
“Duryudanaaa!”
“Jelas bukan! Siapa yang lebih berhak menduduki tahta Hastinapura?
“Duryudana!”
“Bagus! Suara kalian adalah suara kejujuran. Dan Duryudana merupakan
pilihan kejujuran. Jika negeri ini diperintah dengan jujur, tidak ada
penyelewengan, maka Hastinapura akan aman dan makmur.” Dursasana
menegaskan.
Lepas dari benar dan tidaknya bahwa sesungguhnya yang berhak menduduki
tahta adalah Duryudana, para kawula sudah mempercayakan kewibawaan dan
kebesaran Hastinapura kepada Pandawa. Maka jika nanti Prabu Destarastra
memberikan tahta kepada Duryudana, putra sulungnya, kawula akan terluka.
Hastinapurapun berduka.
Panas udara kotaraja Hastinapura di malam Anggorokasih itu. Dewi Gendari
mengajak Destarastra keluar cepuri untuk merasakan tiupan angin malam
di Taman Candrakirana, barangkali hal tersebut dapat melepas kegerahan.
“Kanda Prabu, apakah yang Kanda pikirkan. Raut muka kakanda menyisakan
kekece-waan. Tidakkah kanda menikmati indahnya suasana malam di Taman
Candarkirana ini?”
“Dinda Gendari, apakah engkau tidak merasakan penderitaanku?”
“Kakanda, derita kita adalah satu, apa yang Kanda derita, juga aku derita. Katakanlah Kanda tentang derita itu!”
“Gendari. Selama aku memerintah belum pernah aku mengecewakan rakyat.
Kebijaksanaan yang aku putusan selalu berdasarkan suara dan kebutuhan
rakyat. Tetapi engkau merasakan sendiri, apa yang kudapat atas jerih
payahku, kecuali hanya tahta kosong tanpa wahyu dan kewibawaan. Suara
rakyat yang mengelu-elukan kedatangan para Pandawa, bukti bahwa mereka
mendambakan raja baru yang dapat membawa kemakmuran. Itu artinya bahwa
rakyat kecewa dengan pemerintahanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku
mulai curiga bahwa aku telah dikkianati. Laporan yang aku terima dari
orang-orang kepercayaanku, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Mereka memanfaatkan kebutaanku. Aku telah dihina, dikhianati,
Keparaaat!! Rasakan aji lebur sekethi!” Brooll! Beteng taman di depan
Destarastra hancur rata dengan tanah, digerayang tangan Destarastra yang
telah dialiri aji lebur sekethi. Dewi Gendari gemetar ketakutan melihat
kemarahan Destarastra.
“Ampuuun Kanda Prabu, jangan hancurkan negeri ini! Apakah Kanda tega meninggalkan puing-puing kebobrokan kepada anak cucu kita?”
“Gendari, jangan halangi aku! Jika engkau tidak menginginkan negeri ini
luluh lantak oleh aji lebur sekethi, panggil Patih Sengkuni. Cepaaat!!”
Untuk sesaat darah Gendari berhenti mengalir mendengar nama Patih
Sengkuni disebut. Apakah Destarastra mengetahui bahwa Patih Sengkuni
telah berkhianat? Wah gawat! Tidak terbayangkan apa jadinya seandainya
pada saat kemarahan memuncak, Sengkuni berada di depan Destarastra.
“Ampun Kanda Prabu, redakan gelombang kemarahan dan berpikirlah dengan
jernih. Dalam kejernihan hati Kanda Prabu akan dapat melihat dengan
jelas persoalannya dan mencari jalan keluarnya.”
“Gendari, semuanya sudah jelas, bahwa aku dikhianati. dan bawa pengkhianat itu ke hadapanku.”
“Kanda Prabu, Patih Sengkuni adalah adik kandungku, aku mengetahui apa
yang dikerjakan selama ini. Ia bukan seorang pengkhianat Ia telah
bekerja keras siang malam demi Kanda Prabu.”
“Gendari justru karena ia adikmu, engkau menutupi kesalahannya.”
“Ampun Kanda Prabu, beri kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Kakanda tidak benar.”
“Jangan tunda waktu, lakukan itu!”
“Baiklah Kakanda. Perintah ini adalah perintah seorang raja. Raja
Hastinapura yang besar dan agung. Sebagai kawula aku akan
melaksanakannya dengan penuh pengabdian dan ketulusan. Mohon doa restu
Kanda Prabu, agar aku dapat segera menemukan orang yang telah merongrong
kewibawaan raja dan mereka yang berkhianat.”
Destarastra sedikit lega, atas kesanggupan Dewi Gendari. Angin malam
bertiup dingin. Mendinginkan hati Destarastra. Sehingga ia membiarkan
tangannya dipegang lembut oleh Dewi Gendari untuk kemudian dituntun
masuk ke dalam kedhaton.
Sebelum memasuki pintu kedaton, tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya
mendengar auman serigala di Taman Candrakirana. Auman itu mengingatkan
tangis seorang bayi sulung yang kemudian diberi nama Duryudana. Suara si
bijak Yamawidura terdengar kembali, ‘hendaknya kakanda Destarastra
membuang bayi yang tangisnya menyerupai lolongan serigala itu di sungai,
karena bayi yang berciri demikian akan membawa bencana besar.’
Kidung Malam (4)
Awal Sebuah Pertikaian
Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua
adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada
di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik
daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat
istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk
mengunjungi momongannya.
“Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di
wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan
kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”
“Eyang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan
apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati.
Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para
Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada
permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk
benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba
salah untuk melakukan sesuatu.”
“Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut
bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak,
waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat.
Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan
dinanti, tetapi dijalani.”
“Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”
“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di
Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa
bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah
kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero
ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan
dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari
berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa
yang musti dikerjakan?” “Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal
itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat
onar di beteng jero ini”
“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.
Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus
menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena
dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai
hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu
jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh
menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru.
Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian
Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.
Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena
teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang
beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa
perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya
menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan
mereka.
Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang
datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri
Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang
tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut
para Kurawa.
“Huaa ha ha...! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton
bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak,
tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal
manis, cantik bahenol? Huaaaa ...” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana,
jika tidak ingin aku robek.”
Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.
“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak
mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin
hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada
perbedaan diantara kita”
“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para
putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu
yang hidup di hutan.”
“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”
“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin
diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah
bapakmu, huaaaaa.” ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”
Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal
dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya
dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa
maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah
suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”
Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan
Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna.
Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.
“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita
cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan
liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan
menghancurkan diri sendiri.”
Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.
Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan
tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut
keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok
petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak
Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika
hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada
Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir
Pandawa dari Bumi Astinapura.
“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu
kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan
Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian
diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda
Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar
dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di
Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura.”
Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura
meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki
kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat
yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan
tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di
balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang
disandang anak-anak manusia.
Kidung Malam (5)
Gajah Misterius
Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian,
Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama
seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya
yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara
Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri
Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan
menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera.
Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke
peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan
kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak
diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian.
Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung
dengan sukacita.
Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di
panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan
kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang.
Prinsip hidupnya adalah ‘urip samadya, ora ngaya’ Yang didambakan adalah
hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling
membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal
di kasatrian Panggombakan
Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi
Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian
Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan
pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk
menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan
pengkhianat. Namun bagaimana caranya?
“Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan
kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan
dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura
tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak
berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk
mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan.”
“Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan
pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan
semakin ragu untuk bertindak.” “Orang canggung akan tersandung, orang
ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati.
Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian
akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan.”
“Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura.”
“Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar
telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di
Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh
karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah
saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang
telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli
apa yang kita kerjakan”
“Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodhoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?
“Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh
nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan
mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara
mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe.
Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya,
mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!”
Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga
ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang
menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian
Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap
ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan
Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan
yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa
Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang
telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur,
rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan
khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan
Negara Hastinapura yang lebih baik.
Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya.
Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang
membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor
gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan
gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan
langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang
sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia
memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian.
Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat.
Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan
gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar
menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk
tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang
menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah
jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari
mengangkat belalainya. Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah
semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis
rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna
untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan
meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui
orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera
meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang
membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui,
semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.
Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan
kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal
batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.
“He he, berhenti!”
Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan
malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran
menyaksikan peristiwa itu.
“Ayo kembali! Cepat!”
Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat
perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian
Panggombakan.
Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun
orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya.
Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor
gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|