Kamis, 29 Maret 2012

KIDUNG MALAM

Kidung Malam (1)

Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga, baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja. Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai, karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali mereka melantunkan mantra kidungan; Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan sirna

Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja. Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.

“Kakanda Destarastra”
“O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah.”
“Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu.”
“Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura.”
“Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil, karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura.”
“Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra, namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran di tengah-tengah kegelisahan hatiku.”
“Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?”
“Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura.”
“O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan”
“Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?”
“Perang saudara kakanda”
Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan, yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra, agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.
“Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?”
“Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu”
“Apa yang harus aku perbuat?”
“Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam.”

Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.

“Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari.”
“Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini.”
“Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi Hastinapura.”
“Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan.”
“Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu”
“Peri hal permintaan anak-anak kita”
“Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku.”
“Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita.”
“Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar Hastinapura.”

“Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan Yamawidura.”

“Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita beri kesempatan.?”

“Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan.”

“Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan ringanlah jadinya.”

Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup terdengar dari kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi .... Dan malam pun berlalu dengan selamat.

Kidung Malam (2)
Tahta dan Kewibawaan

Pagi itu udara segar, langit cerah. Burung bernyanyi bersautan, ayam jantan berkokok bersusulan. Pertanda hari baru mulai dibentangkan. Negara besar yang bernama Hastinapura mengawali hari itu dengan mengadakan pasowanan agung. Sang Prabu Destarastra duduk di dampar kencana, beralaskan beludru hitam beraroma bunga melati. Sang raja memakai mahkota Jamang Mas bersusun tiga, didampingi sang prameswari Dewi Gendari, dan dikelilingi para emban, cethi, keparak, manggung. Hadir dalam pasowawan agung tersebut, Patih Sengkuni, Resi Bisma, Yamawidura, para tumenggung, mantri, bupati, demang, lurah, sentana, nayaka dan para kawula.

Menurut silsilah, Prabu Destarastra adalah anak sulung raja Hastinapura yang bernama Abiyasa atau Prabu Kresnadwipayana dengan Dewi Ambika. Namun karena ia buta, maka yang diangkat sebagai raja, anak ke duanya yang bernama Pandudewanata. Pada masa pemerintahan Pandu, Negara Hastinapura mengalami kemajuan pesat, kesejahteraan meningkat, kejayaan negeri terangkat. Namun sayang, pada puncak pemerintahannya, Pandudewanata mendapat kutuk dari Resi Kimindama. Ia beserta ke dua permaisuri, Dewi Kunthi dan Dewi Madrim, terpaksa meninggalkan tahta dan menitipkannya kepada Destarastra. Namun sebelum berhasil melepaskan kutuk, Pandu wafat. Hingga sekarang Destarastralah yang memegang tahta Hastinapura. Tahta itu telah memberinya segalanya, kesenangan kepuasan, kekuasaan, kekayaan, kebesaran, kewibawaan dan keagungan. Betapa nikmatnya tahta itu. Semakin lama duduk di atas tahta, akan semakin nikmat rasanya.

Ya itulah tahta, sesuatu yang terbaik di bumi Hastinapura. Berikanlah yang terbaik kepada anak-anak kita, kata Gendari terngiang ditelinga Destarastra. Tidak! Itu bukan yang terbaik, karena hal itu dapat menjerumuskan anak-anak kita ke dalam perang saudara. Namun dikarenakan bujukan Gendari tak pernah henti, Destarastra terombang-ambing, antara mempertahankan atau menyerahkan tahta. Jika menuruti pikirannya, tahta akan dipertahankan untuk isteri dan anak-anaknya. Namun jika menuruti kesadarannya, tahta akan diserahkan kepada anak-anak Pandudewanata.

Untuk mengatasai konflik batinnya, Destarastra mengadakan Pasowanan agung, untuk menyampaikan niatnya kepada para tetua dan penasihat negri, bagaimana pendapat mereka jika anak-anak Pandudewanata diboyong di Hastinapura, agar diantara Kurawa dan Pandawa dapat hidup berdampingan dengan damai, bahu-membahu membangun negeri dan meneruskan kejayaan Hastinapura.

“Sinuwun Prabu sesembahan hamba, hamba menyetujui rencana sinuwun Prabu memboyong anak-anak Pandudewanata, dan hamba akan mempersiapkan upacara besar-besaran menyambut kedatangan mereka.”

“Sengkuni, penyambutan itu tidak perlu dengan kemewahan. Semenjak Negara Hastina ditinggalkan Pandudewanata, banyak kawula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Melihat kenyataan itu, apakah engkau sampai hati menghamburkan kemewahan, di tengah-tengah kemiskinan, hanya demi sebuah upacara? Bukankah yang terpenting adalah keselamatan para Pandawa?”

“Maafkan hamba dhuh Sang Maha Resi Bisma, sesungguhnya maksud hamba tidak lain kecuali demi menjaga kewibawaan Raja.”

“Ada cara lain untuk menjaga kewibawaan raja, tidak dengan kemewahan dan kekuatan. Di tengah-tengah keprihatinan, seorang raja akan semakin berwibawa jika dia rela menanggalkan kewibawaanya dan bersama-sama dengan kawula ikut merasakan dan menjalani keprihatinan.” sahut Bisma.

“Ampun Kakanda Prabu.” Sela Yamawidura. “Benar apa yang dikatakan Paman Resi Bisma, bahwa kewibawaan tidak terletak pada kemewahan, kekuatan dan simbol-simbol raja yang ada di keraton, tetapi kewibawaan raja ada pada mereka, para kawula. Bukankah tahta dan mahkota tidak ada artinya jika tanpa kawula? Dan tepatlah kiranya jika Kakanda Prabu memboyong Pandawa di Hastinapura. Dengan kebijaksanaan tersebut, rakyat akan menilai bahwa Kakanda Prabu memperhatikan mereka, mendengarkan suara mereka, serta merasakan jeritan hati mereka yang dirundung rindu kepada anak-anak Pandudewanata.”

Yamawidura memang dikenal sebagai penasehat bijaksana dan waskitha. Para sesepuh dan Destarastra menyetujui saran Yamawidura. Maka segeralah diputuskan hari pelaksanaan memboyong Pandawa, Yamawidura diangkat menjadi duta, menemui Begawan Abiyasa di Saptarengga, untuk memboyong Kunthi dan ke lima anaknya.

Pada hari yang ditentukan, sejak pagi kawula berduyun-duyun memenuhi alun-alun dan ruas-ruas jalan yang akan di lewati anak-anak Pandu. Dengan kesadaran dan ketulusan hati, para kawula memasang umbul-umbul, rontek, bendera, penjor dan macam-macam hiasan untuk menyambut anak-anak Pandu. Hastinapura berubah wajah. Ibarat seorang gadis sedang bersolek, untuk menyambut kekasihnya yang telah lama berpisah. Waktu itu, ketika Pandudewanata, meninggalkan Hastinapura, rakyat mengiring dengan tetesan air mata. Nestapa Pandudewanata adalah duka kawula Hastinapura. Setelah lama berpisah, hari itu, kerinduan antara kawula dan raja tumpah kepada anak-anak Pandudewanata.

“Hore! Horeee! Calon Raja kita datang.”
“Hidup calon Raja!”
“Hidup anak Pandu!”
“Hiduuup!”

Sepanjang jalan para kawula Hastinapura mengelu-elukan. Mereka saling berebut ingin melihat dari dekat putra-putra Pandudewanata. Pancaran kebijaksanaan Puntadewa, kekokohan Bimasena, ketampanan Harjuna, ketenangan Nakula dan kecerdasan Sadewa, mampu mengudang kekaguman rakyat Hastinapura. Ketika kereta yang ditumpangi Dewi Kunthi melintas di depan mereka, ada rasa iba tersembul dari ekspresi wajah rakyat Hastinapura, tatkala melihat kerut-kerut wajah wanita setengah baya itu menggoreskan penderitaan yang teramat dalam.

Sore hari, setelah upacara Pandawa Boyong usai. Jalan-jalan menuju kotaraja menjadi lengang, alun-alun kembali sepi. Prabu Destarastra termenung, merasakan peristiwa yang baru saja berlalu.

“Gendari, Benar apa yang dikatakan Yamawidura bahwa kewibawaan tidak berada pada simbol raja. Tanpa simbol-simbol raja, anak-anak Pandudewanata disambut bak raja besar, melebihi raja yang berkuasa. Itu artinya bahwa simbol-simbol raja yang aku pakai selama ini kosong, dan isinya ada di tangan anap-anak Pandu. Untuk itu sudah sepantasnya tahta Hastinapura aku berikan kepada Pandawa”

“Jangan Kanda Prabu, Kakanda harus mempertahankan tahta Hastinapura”
“Mempertahankan tahta tanpa kewibawaan?”
“Bukankah Kanda Prabu yang memegang kekuasaan dan menguasai negeri ini? Termasuk menguasai kewibawaan. Jika kewibawaan itu diyakini berada di tanggan Pandhawa kita akan merebutnya dan memberikan kepada para Kurawa. Ingat! Kakanda, kita belum memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita.”

Sore menjelang malam, langit menjadi semakin merah. Cahaya matahari mulai enggan menambah panasnya Bumi Hastinapura yang kian panas, sepanas hati Dewi Gendari.


Kidung Malam (3)
Menyalahgunakan Kekuasaan

Beberapa pekan berlalu, Kunthi beserta kelima anaknya tinggal di Keraton Hastinapura. Walaupun sejak kecil hidup di pegunungan, mereka tidak canggung menjalani hidup mewah di istana. Karena di Saptarengga Begawan Abiyasa menggembleng dan membekali mereka dengan berbagai ilmu, unggah-ungguh, dan hukum tatanegara. Maka tidak mengherankan, dalam usia belia, Pandawa telah menunjukkan kematangannya.

Patih Sengkuni dan ke seratus anak Destarastra, tidak senang melihat kelebihan bocah-bocah Pandawa. Padahal usia mereka sebaya dengan Kurawa. Rasa dengki dan benci merambat dari dasar hati. Mereka lupa bahwa para Pandawa adalah adik keponakannya, yang seharusnya ikut bangga karena kelebihannya. Tetapi sayang, hati mereka ditutup oleh kemewahan. Pikiran mereka dibelenggu oleh kekuasaan dan bahkan mata mereka silau akan tahta.

Harapan Destarastra memboyong Pandawa ke keraton, agar diantara Pandawa dan Kurawa hidup rukun berdampingan Namun harapan tersebut tidak kesampaian. Sesama cucu Abiyasa itu ibaratnya air dan minyak, tidak pernah rukun. Duryudana dan adik-adiknya selalu mencari dan membuat masalah. Dengan berlindung dibawah kekuasaan Prabu Destarastra, para Kurawa memamerkan kekuatan untuk menghasut kawula Hastinapura. supaya di mata rakyat, Pandawa tidak memiliki kepantasan menjadi raja.

“Hai Para kawula! Tidak sadarkah kalian, bahwa Abiyasa telah membelokkan tahta Hastinapura? Bukankah yang berhak menjadi raja adalah putra sulung laki-laki dari raja yang berkuasa? Siapakah anak sulung Abiyasa, pada waktu ia menjadi raja dengan gelar Prabu Kresnadwipayana?”

“Destarastraaa!” teriak para kawula di kasatriyan Banjarjungut.
“Dan siapakah anak sulung Prabu Destarastra, raja kita sekarang?”
“Duryudanaaa!”
“Jelas bukan! Siapa yang lebih berhak menduduki tahta Hastinapura?
“Duryudana!”
“Bagus! Suara kalian adalah suara kejujuran. Dan Duryudana merupakan pilihan kejujuran. Jika negeri ini diperintah dengan jujur, tidak ada penyelewengan, maka Hastinapura akan aman dan makmur.” Dursasana menegaskan.

Lepas dari benar dan tidaknya bahwa sesungguhnya yang berhak menduduki tahta adalah Duryudana, para kawula sudah mempercayakan kewibawaan dan kebesaran Hastinapura kepada Pandawa. Maka jika nanti Prabu Destarastra memberikan tahta kepada Duryudana, putra sulungnya, kawula akan terluka. Hastinapurapun berduka.

Panas udara kotaraja Hastinapura di malam Anggorokasih itu. Dewi Gendari mengajak Destarastra keluar cepuri untuk merasakan tiupan angin malam di Taman Candrakirana, barangkali hal tersebut dapat melepas kegerahan.

“Kanda Prabu, apakah yang Kanda pikirkan. Raut muka kakanda menyisakan kekece-waan. Tidakkah kanda menikmati indahnya suasana malam di Taman Candarkirana ini?”
“Dinda Gendari, apakah engkau tidak merasakan penderitaanku?”
“Kakanda, derita kita adalah satu, apa yang Kanda derita, juga aku derita. Katakanlah Kanda tentang derita itu!”
“Gendari. Selama aku memerintah belum pernah aku mengecewakan rakyat. Kebijaksanaan yang aku putusan selalu berdasarkan suara dan kebutuhan rakyat. Tetapi engkau merasakan sendiri, apa yang kudapat atas jerih payahku, kecuali hanya tahta kosong tanpa wahyu dan kewibawaan. Suara rakyat yang mengelu-elukan kedatangan para Pandawa, bukti bahwa mereka mendambakan raja baru yang dapat membawa kemakmuran. Itu artinya bahwa rakyat kecewa dengan pemerintahanku tanpa aku ketahui penyebabnya. Aku mulai curiga bahwa aku telah dikkianati. Laporan yang aku terima dari orang-orang kepercayaanku, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Mereka memanfaatkan kebutaanku. Aku telah dihina, dikhianati, Keparaaat!! Rasakan aji lebur sekethi!” Brooll! Beteng taman di depan Destarastra hancur rata dengan tanah, digerayang tangan Destarastra yang telah dialiri aji lebur sekethi. Dewi Gendari gemetar ketakutan melihat kemarahan Destarastra.
“Ampuuun Kanda Prabu, jangan hancurkan negeri ini! Apakah Kanda tega meninggalkan puing-puing kebobrokan kepada anak cucu kita?”
“Gendari, jangan halangi aku! Jika engkau tidak menginginkan negeri ini luluh lantak oleh aji lebur sekethi, panggil Patih Sengkuni. Cepaaat!!”

Untuk sesaat darah Gendari berhenti mengalir mendengar nama Patih Sengkuni disebut. Apakah Destarastra mengetahui bahwa Patih Sengkuni telah berkhianat? Wah gawat! Tidak terbayangkan apa jadinya seandainya pada saat kemarahan memuncak, Sengkuni berada di depan Destarastra.

“Ampun Kanda Prabu, redakan gelombang kemarahan dan berpikirlah dengan jernih. Dalam kejernihan hati Kanda Prabu akan dapat melihat dengan jelas persoalannya dan mencari jalan keluarnya.”
“Gendari, semuanya sudah jelas, bahwa aku dikhianati. dan bawa pengkhianat itu ke hadapanku.”
“Kanda Prabu, Patih Sengkuni adalah adik kandungku, aku mengetahui apa yang dikerjakan selama ini. Ia bukan seorang pengkhianat Ia telah bekerja keras siang malam demi Kanda Prabu.”
“Gendari justru karena ia adikmu, engkau menutupi kesalahannya.”
“Ampun Kanda Prabu, beri kesempatan untuk membuktikan bahwa kecurigaan Kakanda tidak benar.”
“Jangan tunda waktu, lakukan itu!”
“Baiklah Kakanda. Perintah ini adalah perintah seorang raja. Raja Hastinapura yang besar dan agung. Sebagai kawula aku akan melaksanakannya dengan penuh pengabdian dan ketulusan. Mohon doa restu Kanda Prabu, agar aku dapat segera menemukan orang yang telah merongrong kewibawaan raja dan mereka yang berkhianat.”

Destarastra sedikit lega, atas kesanggupan Dewi Gendari. Angin malam bertiup dingin. Mendinginkan hati Destarastra. Sehingga ia membiarkan tangannya dipegang lembut oleh Dewi Gendari untuk kemudian dituntun masuk ke dalam kedhaton.

Sebelum memasuki pintu kedaton, tiba-tiba mereka menghentikan langkahnya mendengar auman serigala di Taman Candrakirana. Auman itu mengingatkan tangis seorang bayi sulung yang kemudian diberi nama Duryudana. Suara si bijak Yamawidura terdengar kembali, ‘hendaknya kakanda Destarastra membuang bayi yang tangisnya menyerupai lolongan serigala itu di sungai, karena bayi yang berciri demikian akan membawa bencana besar.’


Kidung Malam (4)
Awal Sebuah Pertikaian


Di dalem kasatrian Hastinapura, Puntadewa berkumpul dengan kedua adiknya, Suasana sedikit hening. beberapa pohon sawo beludru yang berada di halaman memantulkan cahaya matahari ke wajah mereka, melalui balik daun-daunnya yang berwarna ke coklat-coklatan. Siang itu, saat istirahat, wanci bedhug tengange, Semar memanfatkan waktunya untuk mengunjungi momongannya.

“Dhuh bendara kula, Puntadewa, Bimasena, Harjuna, ada goresan sendu di wajah kalian. Adakah sesuatu perkara besar yang melebihi kemampuan kalian untuk menanggungnya, sehingga menggelisahkan hati?”

“Eyang Semar, engkau sungguh seorang panakawan pinunjul, mampu merasakan apa yang kami rasakan. Memang benar, ada perasaan yang menyesak hati. Keberadaan kami di Hastinapura rupa-rupanya tidak dikehendaki oleh para Kurawa. Mereka menunjukan sikap tidak bersahabat, bahkan mengarah pada permusuhan. Gerak-gerik kami dicurigai, kami dilarang keluar masuk benteng untuk bertatap muka dengan para kawula, sehingga kami jadi serba salah untuk melakukan sesuatu.”

“Dhuh bendara kula, dengan keadaan yang kurang menguntungkan tersebut bukan berarti kalian tidak dapat berbuat sesuatu. Bagi orang bijak, waktu jangan disia-siakan. Setiap denyutnya harus membawa manfaat. Pekerjaan itu jangan ditunggu, tetapi dikerjakan. Dharma bakti jangan dinanti, tetapi dijalani.”

“Eyang Semar, kami menjadi bingung, apa yang musti kami kerjakan?”

“Dhuh adhuh, ndara, ndara, bendara kula. Sampeyan itu bagaimana ta? Di Saptarengga eyangmu Abiyasa telah mengajari banyak hal, baru beberapa bulan hidup di istana, rasa pangrasa kalian menjadi tumpul. Apakah kalian tidak melihat dan merasakan kehidupan di lingkungan beteng jero ini. Para abdi menjadi korban kebijakan raja, hidup dalam penderitaan dan tekanan. Mereka butuh dibela, dilindungi dan dibebaskan dari berbagai ancaman. Sebagai seorang satria masihkan kalian bertanya, apa yang musti dikerjakan?” “Eyang Semar, kami telah mencoba melakukan hal itu, namun kami malahan dituduh menentang kebijaksanaan raja dan membuat onar di beteng jero ini”

“Kalian memang harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kalian dapat melakukan sesuatu untuk sebuah keadilan, tanpa harus menimbulkan kecurigaan dan membuat keonaran. Jangan berhenti karena dihalangi! Karena sesungguhnya pekerjaan mulia tidak akan pernah selesai hanya dengan berpangku tangan dan keragu-raguan.” Tanpa menunggu jawaban, Semar segera melangkah pergi. Kakinya yang besar dan kokoh menapaki hamparan pasir, melewati sela-sela pohon Sawo Beludru. Puntadewa, Bimasena dan Harjuna terpaku diam. Mereka menatap kepergian Semar hingga hilang ditelan pintu seketeng.

Siang itu matahari tak terhalang mega, wajah mereka yang merah karena teguran Semar, semakin memerah diterpa pasir di halaman Kasatrian yang beterbangan tertiup angin. Dari pandangan matanya dapat diketahui bahwa perasaan mereka sangat terpukul. Mereka menyadari ketidak mampuannya menghadapi sebuah suasana yang sengaja dibuat untuk semakin memojokkan mereka.

Tiba-tiba siang yang hening itu pecah oleh kegaduhan para Kurawa yang datang di Dalem Kasatrian. Disertai teguran sinis, mereka menghampiri Puntadewa dan adik-adiknya. Ketiga anak Pandu itu diam saja. Suara yang tidak mengenakan dan menyakitan itu, sudah terbiasa keluar dari mulut para Kurawa.

“Huaa ha ha...! Bingung! Linglung! Pantas saja anak gunung di kraton bingung. Ha ha ha. Bukankah hidup di keraton menyenangkan? makan enak, tidur nyenyak, apakah masih kurang? Apakah menginginkan wanita sintal manis, cantik bahenol? Huaaaa ...” “Hmm, jaga mulutmu Kakang Dursasana, jika tidak ingin aku robek.”

Para Kurawa terdiam, mereka tergetar oleh kata-kata Bimasena. Puntadewa mencoba meredakan ketegangan.

“Sebagai saudara tua yang kami hormati seharusnya kalian tidak mengeluarkan kata-kata pedas menusuk, karena sesungguhnya kami ingin hidup berdampingan dengan damai. Di Hastinapura ini bukankah tidak ada perbedaan diantara kita”

“Tidak berbeda dengan kami? Hua ha ha ha. menggelikan! Kami adalah para putra raja yang hidup di keraton, sedangkan kalian adalah anak Pandhu yang hidup di hutan.”

“Tetapi Ramanda Pandhu adalah raja yang berhak atas tahta Hastinapura.”

“Orang mati tidak dapat naik tahta. Tetapi kalau memang kalian ingin diperlakukan sama seperti putra raja, silakan minta dikeloni arwah bapakmu, huaaaaa.” ejek Dursasana. “Hmm, kurang ajar.”

Bimasena tak mampu menahan amarah ketika ayahnya yang sudah meninggal dihina. Duryudana dan Dursasana yang berada dipaling depan, dihampirinya dengan kakinya, Keduanya jatuh terlentang menyentuh pasir. Para kurawa maju mengerubut. Belum berlanjut keributan itu, tiba-tiba terdengarlah suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Bima anakku.”

Ditolehnya arah datangnya suara. Ia melihat Dewi Kunthi ibundanya dan Yamawidura pamandanya telah berada diantara Puntadewa dan Harjuna. Bersamaan dengan itu Para Kurawa meninggalkan Kasatrian.

“Bima, jaga amarahmu, tidak ada gunanya membuat onar di negri yang kita cintai ini.” “Benar kata ibumu Kunthi, jika nafsu amarahmu kau biarkan liar, akibatnya akan merugikan negri, mencelakai sesama dan menghancurkan diri sendiri.”

Tanpa sepatah katapun Bimasena berjalan memasuki dalem kasatrian, dikuti oleh Kunthi, Yamawidura dan kedua adiknya.

Sesampainya di ruang tengah, mereka duduk bersama. Dalam kesempatan tersebut, Yamawidura menyampaikan perkembangan terbaru yang menyangkut keberadaan Anak-anak Pandu di Negara Hastinapura. Ada sekelompok petinggi Negri dan para bangsawan yang membuat laporan, bahwa semenjak Pandawa memasuki kota raja, kewibawaan raja berangsur-angsur surut. Jika hal ini dibiarkan, pada saatnya nanti wahyu raja akan berpindah kepada Pandhawa. Maka jalan satu-satunya yang harus dilakukan adalah mengusir Pandawa dari Bumi Astinapura.

“Aku sudah mengingatkan kepada Raja, agar meneliti terlebih dahulu kebenaran laporan itu sebelum mengambil keputusan. Namun omongan Sengkuni dan Gendari lebih berpengaruh. Kakanda Prabu memutuskan, kalian diusir dari Hastinapura. Namun ada secercah harapan, ketika Kakanda Prabu masih mendengarkan suaraku, untuk tidak mengusir kalian keluar dari bumi Astinapura. Ia memperbolehkan aku memboyong kalian di Panggombakan, yang masih terhitung wilayah Hastinapura.”

Malam itu malam purnama, Kunthi, kelima anaknya dan Yamawidura meninggalkan kotaraja Hastinapura. Tidak seperti ketika mereka memasuki kotaraja, kali ini, disepanjang jalan yang dilaluinya, tidak ada rakyat yang mengelu-elukannya, kecuali suara binatang malam yang mengidungkan tembang kesedihan. Sementara itu, bulan bundar menyembunyikan mukanya di balik awan hitam, ia tidak sampai hati melihat ketidak adilan yang disandang anak-anak manusia.


Kidung Malam (5)
Gajah Misterius

Nun jauh di perbatasan Negara Hastinapura, tersebutlah sebuah kasatrian, Panggombakan namanya. Di kasatrian tersebut Yamawidura tinggal bersama seorang istri, Dewi Padmarini anak Prabu Dipacandra, dan dua anaknya yaitu, Sanjaya dan Yuyutsuh. Sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran, sifat-sifat itu ada dalam diri Yamawidura. Oleh karenanya di bawah kepemimpinannya, Panggombakan menjadi kasatrian yang aman, tentram, damai, adil dan sejahtera.

Malam itu, ketika para kawula kasatrian Panggombakan mulai berangkat ke peraduan, Yamawidura, Dewi Kunthi dan ke lima anaknya menginjakan kakinya di Panggombakan. Kedatangan mereka memang disengaja agar tidak diketahui banyak orang, kecuali anggota dan kerabat dekat kasatrian. Dewi Padmarini, Sanjaya dan Yuyutsuh, menyambut kedatangan tamu agung dengan sukacita.

Ada suasana yang berbeda, dibandingkan dengan kotaraja Hastinapura. di panggombakan, sebagian besar penduduknya tidak gila pangkat dan kedudukan. Mereka bekerja dengan tulus, tidak semata-mata mencari uang. Prinsip hidupnya adalah ‘urip samadya, ora ngaya’ Yang didambakan adalah hidup berdampingan dengan tentram saling menghargai dan saling membantu. Itulah yang membuat Kunthi dan kelima anaknya kerasan tinggal di kasatrian Panggombakan

Namun walaupun begitu, masih ada sisa nestapa yang senantiasa membayangi Kunthi dan para Pandawa. Mengapa kepindahan mereka ke kasatrian Panggombakan disebabkan oleh tuduhan sebagai pengghasut kawula dan pengkhianat raja? Betapa hinanya sebutan itu. Ada keinginan untuk menjelaskan kepada kawula, bahwa mereka bukan penghasut, bukan pengkhianat. Namun bagaimana caranya?

“Penjelasan itu tidak perlu, ada saatnya kebusukan itu terkuak dan kebenaran akan memancar bersinar. Yang kita butuhkan adalah ketabahan dan kesabaran. Anak-anakku, percayalah, sesungguhnya kawula Hastinapura tidak bertindak semata-mata berdasarkan pikirannya, mereka bertindak berdasarkan kata hati yang jernih dan jujur. Tidaklah mudah untuk mempengaruhi mereka dengan tipudaya dan kepalsuan.”

“Maafkan kami Pamanda Yamawidura, sesungguhnya dengan sebutan pengkhianat itu, kami menjadi semakin canggung untuk melangkah dan semakin ragu untuk bertindak.” “Orang canggung akan tersandung, orang ragu bagaikan sebuah batu yang beku. Melangkah salah, berhenti mati. Ibarat wastra lungset ing sampiran. Jiwa satria yang ada pada kalian akan menjadi pudar tanpa memberi manfaat bagi hidup dan kehidupan.”

“Lantas apa yang harus kami lakukan Pamanda Yamawidura.”

“Mengapa hal itu masih engkau tanyakan Puntadewa? Bukankah kakang Semar telah banyak memberikan wejangan. Lain di Kotaraja lain pula di Panggombakan. Di sini hampir tidak ada kepalsuan dan kemunafikan. Oleh karena itu, lakukanlah sesuai dengan nurani. Jangan ditunda lagi, sudah saatnya kalian berbuat. Menunggu artinya membuang waktu. Waktu yang telah berlalu akan menjadi semakin jauh meninggalkan kita, tanpa peduli apa yang kita kerjakan”

“Hmm, Paman Widura! aku ini orang bodhoh, jangan berputar-putar, bicaralah yang jelas, kami harus berbuat apa?

“Baiklah Bima. Ada yang jauh lebih penting dari pada keinginan membasuh nama dari tuduhan pengkhianatan, yaitu manjing ajur-ajer menyatu dengan mereka, berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing. Mendengarkan suara mereka, melayani kebutuhan mereka, sepi ing pamrih rame ing gawe. Merasakan apa yang dirasakan mereka. Jika kalian siap melakukannya, mulailah dari kasatrian Panggombakan. Sekarang juga!”

Hari demi hari dilaluinya. Kebersamaan para ksatria Saptarengga ditengah-tengah kehidupan kawula Panggombakan, membuahkan hasil yang menggembirakan. Pelan namun pasti, tanah perdikan pemberian Pandudewanata tersebut mengalami kemajuan diberbagai bidang. Sikap ikhlas dan semangat melayani yang dibangun Puntadewa, Bimasena dan Harjuna tanpa disadarinya telah membasuh namanya. Kawula Panggombakan yang juga bagian dari rakyat Hastinapura dapat menilai dari dekat bahwa Puntadewa dan adik-adiknya tidak mempunyai jiwa pengkhianat seperti yang telah dituduhkan oleh penguasa negri. Mereka adalah para ksatria luhur, rendah hati dan sakti. Di pundak merekalah kawula Panggombakan khususnya dan rakyat Astinapura pada umumnya, menggantungkan masa depan Negara Hastinapura yang lebih baik.

Hari menjelang sore, ketika langit diujung kulon temaram sinarnya. Puntadewa dan Harjuna masih sibuk membantu warga desa yang sedang membuat jembatan bambu. Tiba-tiba dari arah hutan, munculah seekor gajah. Ukuran gajah itu empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan gajah pada umumnya. Gajah besar bergading panjang itu mengarahkan langkahnya menuju orang-orang yang berkerumun ditempat itu. Matanya yang sipit berusaha dibuka lebar-lebar, dan tampaklah betapa tajamnya ia memandang, seakan-akan tahu bahwa ia menjadi pusat perhatian. Orang-orang mulai kecemasan ketika gajah itu melangkah semakin dekat. Mereka mulai membayangkan jika belalainya yang kuat melilitnya, dan gadingnya yang panjang menghantamnya serta kakinya yang besar menginjaknya. Puntadewa dan Harjuna memberi isyarat kepada mereka untuk tetap tenang. Keanehan terjadi. Gajah yang pada awalnya garang menakutan, tatkala melihat Puntadewa dan Harjuna berubah menjadi gajah jinak dan bersahabat. Ia menghampiri mereka dan bersimpuh, sembari mengangkat belalainya. Semua mata memandang heran. Bukankah polah gajah semacam itu hanya bisa dilakukan oleh gajah tunggangan raja? Belum habis rasa herannya, belalai gajah tersebut mengangkat Puntadewa dan Harjuna untuk diletakan dipunggungnya. Segera sesudah itu ia berdiri, berjalan meninggalkan tempat itu. Suasana takut dan cemas yang menghantui orang-orang disekitarnya, berubah menjadi kegembiraan. Mereka segera meninggalkan pekerjaannya dan berlari-lari kecil, mengikuti gajah yang membawa Puntadewa dan Harjuna. Semakin panjang jalan yang dilalui, semakin bertambah pula orang-orang yang mengiringi.

Setelah berkeliling tanah Panggombakan, gajah tersebut melangkahkan kakinya ke arah kotaraja Hastinapura. Belum jauh meninggalkan tapal batas Panggombakan, tiba-tiba Semar muncul menghadang ditengah jalan.

“He he, berhenti!”

Gajah tersebut menghentikan langkahnya. Ia kelihatan bersalah dan malu-malu, tidak berani menatap mata Semar. Orang-orang heran menyaksikan peristiwa itu.

“Ayo kembali! Cepat!”

Gajah tersebut sangat patuh, seperti layaknya seorang abdi yang mendapat perintah tuannya, ia merubah arah, menuju ke rumah induk kasatrian Panggombakan.

Hari menjelang gelap, lampu-lampu minyak mulai dinyalakan. Namun orang-orang yang mengiringi Gajah misterius justru bertambah jumlahnya. Mereka ingin menyaksikan keanehan baru yang akan di lakukan oleh seekor gajah besar bergading panjang dan bermata tajam.















CERITA WAYANG "KARNO TANDING"

RINGKASAN CERITA  : Karno Tanding adalah suatu babak pertempuran terbesar Baratayudo di Padang Kurusetra. Pertempuran dua senopati pilih tanding yaitu Arjuno dari kesatrian Madukoro sebagai panglima perang Negara Amarta melawan Adipati Basukarno dari Awonggo sebagai panglima perang Negara Astina
 
Arjuno
Arjuno atau Janoko lahir dari rahim seorang Ibu bernama Kunti Nalibronto dengan Raja Astina Pandu Dewonoto. Satria panengah Pandawa.
Basukarno
Basukarno atau Karno lahir dari rahim seorang Ibu bernama Kunti Nalibronto dengan seorang Dewa bernama Bethoro Suryo atau Dewa Matahari. Jauh sebelum Kunti Nalibronto belum bersuami, pernah bermain main dengan aji pameling (sebuah kesaktian yang mampu mendatangkan siapapun yang dikehendaki). Sehingga datanglah Bethoro Suryo. Melihat kemolekan tubuh Kunti, Bethoro Suryo jatuh hati sehingga Kunti mengandung seorang bayi yang kemudian dilahirkan melewati telinga sehingga anak tersebut diberi nama “Karno” yang berarti telinga. Sebagai seorang putri raja besar Kunti malu karena melahirkan seorang anak sedangkan dia belum bersuami, maka anak tersebut di larung di sungai gangga. Kelak bayi ini diketemukan dan dipelihara oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto.

Karno besar menjadi satrio tangguh, pintar memanah muncul pada waktu Pendadaran Siswa Sukolimo. Sepintar Arjuno dalam memanah tapi tidak bisa ikut berlatih di Padepokan Sukolimo (Padepokan Resi Durno) karena bukan keturunan bangsawan. Karno di usir dari ajang Pendadaran Siswa Sukolimo karena bukan darah bangsawan. “Kamu Hanya Anak Seorang Kusir” kata Arjuno. Karno menjadi malu dan rendah diri sehingga pergi. Sebagai Satu-satunya Satria yang mampu menandingi kecepatan panah Arjuno, Karno dicari oleh Prabu Duryudono Raja Astina dan mengangkatnya sebagai Adipati di Awonggo. Sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Astina, sehingga Karno bisa berlatih di Padepokan Sukolimo.
Hati Seorang Ibu
Karno Tanding adalah Sebuah Pertempuran Dua Saudara Kandung Se Ibu tapi berlainan Ayah. Sama-sama Sakti, sama-sama pintar dalam memanah. Sama-sama mempunyai senjata Sakti dari Dewa. Kunti Nalibronto hanya bisa meneteskan air mata melihat kedua putranya saling bertempur. Sebelum pertempuran Baratayuda dimulai kedua ksatria ini pernah dipertemukan oleh Ibunya. Seorang Ibu yang lembut dan bijaksana ini rela bersimpuh di kaki Karno meminta ampun atas penderitaan karno karena telah dibuangnya dan memohon untuk bergabung dengan saudaranya di Pandawa atau Amarta. Karena Kunti tahu benar kalau pertempuran Baratayuda benar terjadi maka hanya Karnolah yang mampu menghadapi Arjuno, itu berarti kedua putranya akan saling berhadapan. Dengan arifnya pula Karno memohon maaf tidak bisa bergabung dengan Pandawa karena beberapa alasan :
“Ibu, ……. sama sekali saya tidak dendam atas perlakuan Ibu kepadaku, hanyutnya aku di sungai gangga sampai aku besar sekarang ini adalah garis hidupku. Aku menjadi Adipati dan hidup bahagia adalah karena Prabu Duryudono, aku tidak mau disebut Satria Pengecut hanya muncul ketika ada kesenangan tapi lari dari kesusahan. Apa kata dewa kalau aku nanti bergabung dengan Pandawa. Suatu saat seandainya aku harus bertempur dengan adikku Arjuno itu juga sudah kehendak para dewa. Sekali lagi saya mohon maaf ibu, Nyuwun Agunging Wiloso. Biarkan aku menentukan hidupku Sendiri. ” ……Kata Basukarno.
Arjuno juga hanya bisa tertunduk menangis. Walau bagaimanapun Karno adalah kakaknya meskipun lain ayah, rasa menyesal yang mendalam telah mengusir dari pendadaran siswa sukolimo.
Tangis Kunti semakin menjadi mendengar Jawaban Karno apalagi melihat kedua putranya itu saling berpelukan. Ketiganya larut dalam tangis kebahagiaan, kesedihan, keharuan, kebingungan hanya bisa berpelukan satu sama lain.
Perang Baratayudo
Perangnya darah Barata itu pecah dan Basukarno muncul sebagai senopati Astina ketika senjatanya Kunto wijoyodanu tertancap di tubuh Gatotkaca. Tak ayal lagi kedua putra kunti itu pasti saling berhadapan. Ketika Sangkakala berbunyi ……..
Karno muncul dengan kereta perangnya didampingi prajurit bayangkara Awonggo berada di tengah ribuan pasukan Astina. Sebagai seorang Senopati besar kereta Karno di kusiri oleh seorang raja besar dan sakti yaitu Prabu Salyo.
Arjuno muncul dengan kereta perangnya didampingi prajurit bayangkara Madukoro berada di tengah ribuan pasukan Amarta. Sebagai seorang Senopati besar kereta Arjuno di kusiri oleh seorang raja besar dan sakti yaitu Prabu Kreno.
Ketika pertempuran terjadi dengan hebatnya terjadi keanehan dua ksatria yang lihai dalam memanah itu saling menghujankan anak panah tapi tidak satupun mengenai keduanya. Kadang berhenti kemudian saling pandang, saling meneteskan air mata. Prabu Salyo dan Prabu Kresno keduanya tahu, kedua putra kunti itu tidak saling tega untuk membunuh bahkan melukai sekalipun sehingga tidak satupun panah tepat sasaran.
Ketika sehari penuh saling bertempur, saling mengeluarkan senjata saktinya, saling menghujankan panah tapi tidak satupun yang mengenai tubuh. Prabu Kresno sebagai kusir Arjuno dan botohnya Amarta (Pandawa) Tahu persis senjata Pasopati yang dipasang di gandewa Arjuno. Maka Tali kendali kuda disentak sehingga kuda bergerak kedepan tepat ketika Pasopati terlepas dari gandewa yang semula diarahkan hanya di depan Karno tapi karena kereta bergerak kedepan maka Senjata Sakti Pasopati tepat mengenai leher Adipati Basukarno. Anak Dewa Surya itu tersungkur mengenai kereta sehingga kereta hancur. Pasukan Amarta Gemuruh Sorak sorai sebaliknya Pasukan Astina terdiam mundur melihat sedih Senopati Besar Astina gugur di medan Pertempuran Padang Kurusetra.
Paseban Amarta
Malam hari ketika parepatan para senopati di tenda pasukan Amarta Arjuno marah besar kepada Prabu Kresno karena Pasopati sebenarnya diarahkan tidak untuk mengenai Karno tapi karena gerakan kereta ke depan sehingga panah Pasopati pas mengenai leher Kakaknya Adipati Karno. Sebagai keturunan Dewa Wisnu Prabu Kreno lalu memberi nasehat dengan bijaknya “Ketika pertempuran semakin lama akan semakin banyak pasukan kedua belah pihak gugur yang berarti rakyat juga yang menjadi korban”. Sambil meminta maaf Kresno berucap ” Ini pertempuran Dimas, ketika ada senopati yang gugur itulah tugas mulia yang diembannya.”
Paseban Astina
Malam hari ketika parepatan para senopati di tenda pasukan Astina. Semuanya tercenung, terdiam terlihat beberapa senopati belum kering air matanya. Ketika Prabu Duryudono mulai bersabda siapakah yang menjadi senopati selanjutnya. Mahapatih Haryo Sengkuni Mengusulkan Prabu Salyo sambil berucap bahwa kematian Senopati Basukarno karena perbuatan Prabu Salyo yang sengaja menggerakan kereta kedepan sehingga panah Arjuno tepat mengenai leher Karno. Prabu Salyo marah besar pada Mahapatih Haryo Sengkuni hampir terjadi perkelahian seandainya itu bukan di pasewakan dan Prabu Duryudono tidak melerai. Dan memang kemudian ditetapkan Prabu Salyolah yang menjadi Senopati selanjutnya.
Arti Pertempuran
Pertempuran, peperangan, perkelahian dan apapun itu namanya adalah simbol nafsu manusia yang tidak pernah mau mengerti tentang peradaban yang Agung di bumi ini. Selama kita masih merasa hebat masih merasa kuat dan masih merasa segalanya, selama itu pula hidup kita tidak akan pernah damai dan tentram. Perbaiki Ibadah ! Mendekatkan diri pada Siapa yang telah menciptakan diri kita adalah jalan yang benar untuk hidup manusia.
Sumber :
Sanggar Sareh Budoyo, Yogyakarta.
Ki Taryono

Senin, 26 Maret 2012

RENUNGAN

Sebuah Renungan Bagi Kita Semua
Aku mempunyai pasangan hidup… :)

Saat senang aku cari pasanganku
Saat sedih aku cari orang tua

Saat sukses aku ceritakan pada pasanganku
Saat gagal aku ceritakan pada bapak

Saat bahagia aku peluk erat pasanganku
Saat sedih aku peluk erat ibuku

Saat liburan aku bawa pasanganku
Saat aku sibuk, anak kuantar ke rumah bapak

Saat sambut valentine, selalu beri hadiah pada pasangan.
Saat sambut hari ibu, aku cuma ucapkan “Selamat Hari ibu”

Selalu aku ingat pasanganku
Selalu ibu yang ingat aku

Setiap saat aku akan telpon pasanganku
Kalau inget aku akan telpon orang tuaku

Selalu aku belikan hadiah untuk pasanganku
Entah kapan aku akan belikan hadiah untuk ibu

Renungkan :
“Kalau kau sudah habis belajar dan berkerja…
bolehkah kau kirim uang untuk orang tuamu?
Ibu tdk mnta banyak, lima puluh ribu sebulan pun cukuplah”.
Berderai air mata jika kita mendengarnya... :(
Tapi kalau mereka sudah tiada...?
Papa... ??  Mama... ??
Aku Rindu ....... Sangat Rindu....... ?

Sumber :
kaskus.us

Anak Berperilaku Buruk? Salahkan Pola Asuh

Perilaku agresif terkadang lazim ditemui pada balita, namun jika perilaku tersebut masih bertahan sampai ia bersekolah TK atau SD bisa jadi ada yang salah dengan pola asuh ibunya.

Para peneliti dari Universitas of Minnesota, Amerika Serikat, menyebutkan pada umumnya pembawaan bayi adalah tenang. Tetapi pada satu masa di awal usia balita, anak bisa punya kebiasaan suka memukul. Sifat agresif itu mencapai puncaknya saat balita 2,5 tahun, kemudian mereda.
Menurut teori, balita berusia 4 tahun lebih bisa dikendalikan dibanding balita usia 2 tahun, dan anak berusia 6 tahun berperilaku lebih baik dibanding rata-rata anak usia 4 tahun.

Namun pada kenyataannya ada anak-anak yang berperilaku sulit diatur. Menurut Michael Lorber, peneliti yang melakukan riset ini, ada sebagian anak yang tetap berperilaku agresif sampai ia berusia 6 tahun.
"Anak yang masih bersikap agresif di usia TK atau kelas 1 sekolah dasar berpotensi besar membawa sikap itu sampai besar," kata Lorber.
Padahal, literatur menyatakan anak yang agresif, seperti suka memukul atau melempar benda saat tantrum, cenderung bermasalah di sekolah, beresiko tinggi depresi, bahkan suka melakukan kekerasan pada pasangannya kelak.

Dalam penelitian yang dilakukan Lorber terhadap 267 ibu dan anak, diketahui bayi usia 3 bulan pun sudah bisa meniru. Jika sejak bayi si ibu bersikap kurang sabar atau suka mengomel, besar kemungkinan bayinya akan tumbuh menjadi anak berperilaku buruk.

Sikap agresif anak juga bisa timbul dari pengaruh sekelilingnya, seperti tayangan televisi atau video games. Namun, Lorber menjelaskan bahwa pola asuh bukan faktor tunggal dalam pembentukan perilaku anak karena ada juga pengaruh faktor genetik. Walau begitu, ia menyarankan agar orangtua memberi contoh perilaku yang baik pada anaknya. "Mulailah sedini mungkin. Menjadi orangtua yang sensitif dan merespon kebutuhan sosial dan emosional anak sangatlah penting," katanya.

Kamis, 22 Maret 2012

Tomcat Tak Menggigit, Sentil Saja kalau Hinggap

KOMPAS.com — Ahli alergi dan imunologi dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) Surabaya, Dr dr Anang Endaryanto SpA(K), menyarankan cara mudah menghadapi tomcat.
Tak perlu khawatir dengan serangan tomcat. Sebab, pada dasarnya serangga tersebut tidak menyerang manusia secara langsung.

"Tomcat itu tidak menggigit, tapi hanya menempel. Karena itu, kalau dia hinggap cukup disentil saja, lalu bekas hinggapnya dibersihkan. Yang penting, jangan dipukul atau dipencet, karena cairan yang dikeluarkan bisa bersifat hypersensitive," katanya di Surabaya, Rabu (21/3/2012).

Cairan hypersensitive yang dikeluarkan tomcat itu dapat menimbulkan reaksi yang merugikan pada manusia karena mengakibatkan alergi, nyeri, kemerahan, gatal, dan bahkan hingga menyebabkan penderitanya mengalami radang akibat iritasi dan demam.

Ia menegaskan bahwa cairan yang dikeluarkan tomcat itu bersifat asam. Karena itu, dapat dinetralkan dengan zat yang bersifat basa, seperti sabun mandi.
"Tapi, cara yang paling baik adalah disentil, lalu bekas hinggap dari tomcat itu dibersihkan dengan sabun," katanya.
Sementara itu, Direktur RSUD dr Soetomo Surabaya dr Dodo Anondo MPh menyatakan, Kepala Dinas Kesehatan Jatim dr Budi Rahayu sudah membentuk tim khusus untuk penanganan serangan tomcat itu.
"Masyarakat tidak perlu resah karena serangan serangga tomcat itu sudah rutin setiap tahun," katanya.

Menurut mantan Direktur RSUD Madiun itu, tomcat menjadi terkenal saat ini akibat alat komunikasi yang sekarang cukup canggih. Selama ini, serangga tersebut hidup di sawah-sawah dan daerah yang lembab membantu petani untuk memakan hama wereng cokelat.
Namun, pada musim tertentu populasi bertambah sehingga menjangkau permukiman manusia.

Korban tomcat pun mencapai lebih dari 100 orang di Surabaya dan dilaporkan di 13 kecamatan. Ke-13 puskesmas di Surabaya yang merawat pasien tomcat yaitu Puskesmas Keputih, Kenjeran, Mulyorejo, Pakis, Medokan Ayu, Pacar Keling, Sidotopo, Rangkah, Sawahan, Wiyung, Kebonsari, Sememi (Benowo), dan Putat.

Rabu, 21 Maret 2012

SEMANGAT – SEMANGAT – SEMANGAT.


 

Langit dengan lembayung yang memancarkan sinar merah keungu-unguan diselimuti dengan lembutnya embun subuh serta diiringi kicau merdu murai batu dan kepodang mengantarkan sejuknya sumilir angin timur yang membawa wewangian khas cendana di kaki gunung merapi.

Karunia Illahi dipagi hari itu disambut dengan langkah-langkah kaki yang telah pecah telapaknya, berkerut kulit halusnya,  dan hilang keindahan betis bak bunting padi, para wanita-wanita tangguh yang dengan keiklasan, ketekunan, kekuatan jiwa dan  semangat untuk mempertahankan hidup dengan menggali dan memikul butir-butir pasir gunung untuk dijual kiloan kepada kulak-kulak yang dating dari kota.

Resiko awan panas, reruntuhan  lava dingin  yang membeku dan teriknya matahari yang membakar setiap kulit-kulit lembut itu tidak pernah dan tidaka akan pernah mereka keluhkan.

Api yang membara di dadanya senantiasa berkobar untuk terus melakukan itu hari demi hari, minggu demi minggu, berbulan bahkan bertahun-tahun hanya untuk satu cita-cita yaitu mempertahankan hidup.

Hanya satu kata yang membuat mereka bertahan menghadapi kehidupan keras itu : SEMANGAT

Lalu bagaimana kita, yang senantiasa bangun pagi diiringi music dan aroma kopi susu yang hangat, olesan selai keju di atas roti yang manis, serta berangkat sekolah dengan wewangian parfum dari merk terkenal serta diantar dengan mobil ber AC menuju sekolah ? Masih adakah sebongkah semangat untuk berjuang meniiti hidup yang lebih baik lagi dari saat ini ? (Eyang – P. Yon – 01032012) (Eyang – P. Yon – 02032012)  

PUSAT INFORMASI DAN KONSELING REMAJA (PIK REMAJA)


Pada tahun 2007 jumlah remaja umur 10 – 24 tahun sangat besar terdapat sekitar 64 juta atau 28, 6 % dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 222 juta (Proyeksi Penduduk Indonesia tahun 2000-2005, BPS, Bappenas, UNFPA, 2005 ). Disamping jumlahnya yang besar, remaja juga mempunyai permasalahan yang sangat kompleks seiring dengan masa transisi yang dialamai remaja.
Masalah menonjol yang dikalangan remaja misalnya masalah seksualitas (kehamilan tak diinginkan dan aborsi), terinfeksi Penyakit menular Seksual (PMS), HIV dan AIDS, penyalahgunaan Napza dan sebagainya.

PIK Remaja adalah salah satu wadah kegiatan program PKBR ( Penyiapan kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) yang dikelola oleh,dari dan untuk remaja guna memberikan pelayanan informasi dan konseling kesehatan reproduksi serta penyiapan kehidupan berkeluarga. 
Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa. Kehidupan remaja merupakan kehidupan yang sangat menentukan bagi kehidupan masa depan mereka selanjutnya. Masa remaja seperti ini oleh Bank Dunia disebut sebagai masa transisi kehidupan remaja. 

Transisi kehidupan remaja oleh Bank dunia dibagi menjadi 5 hal ( Youth Five Life Transitions). Transisi kehidupan yang dimaksud menurut Progress Report World Bank adalah :

1.      Melanjutkan sekolah (continue learning)
2.      Mencari pekerjaan ( start working)
3.      Memulai kehidupan berkeluarga ( form families)
4.      Menjadi anggota masyarakat (exercise citizenship)
5.      Mempraktekan hidup sehat ( practice healthy life).

Program PKBR (Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja) yang dilaksanakan berkaitan dengan bidang kehidupan yang kelima dari transisi kehidupan remaja dimaksud,  yakni mempraktekan hidup secara sehat (practice healthy life).  Empat bidang kehidupan lainnya yang akan dimasuki oleh remaja sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya remaja mempraktekan kehidupan yang sehat. Dengan kata lain apabila remaja gagal berprilaku sehat, kemungkunan besar remaja yang bersangkutan akan gagal pada empat bidang kehidupan yang lain.

Dari darta-data yang berkaitan dengan gambaran prilaku sehat remaja, khususnya yang berhubungan dengan resiko TRIAD KRR  (Seksualitas, NAPZA, HIV dan AIDS), tampaknya sebagaian remaja Indonesia berprilaku tidak sehat. Prilsaku tidak sehat tersebut seperti terlihat pada data berikut ini.

Seksualitas.

·      Seks Pra Nkah
Berdasarkan Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI 2002-2003) didapatkan bahwa remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%), sedangkan usia 20-24 tahun (perempuan 48,6 %, laki-laki 46,5 %). Dari penelitian yang dilakukan oleh Wimpie Pangkahila tahun 1996 terhadap  633 pelajar di Bali, didapatkan bahwa 27 %  remaja laki-laki dan 18 % remaja perempuan mempunyai pengalaman hubungan seks pranikah. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Situmorang tahun 2001 didapatkan 27 % remaja laki-laki dan 9 % remeja perempuan di Medan mengatakan sudah melakukan hubungan seks.

Hasil penelitian DKT Indonesia 2005, menunjukan prilaku seksual remaja di 4 kota Jabotabek, Bandung, Surabaya dan Medan berdasarkan norma yang dianut, 89% remaja tidak setuju adanya seks pra nikah,  namun kenyataannya 82 %  remaja punya teman untuk melakukan seks pra nikah, 66% remaja punya teman seks dan hamil sebelum menikah. Remaja secara terbuka menyatakan melakukan seks pra nikah di Jabotabek 51 %, Bandung 54 %, Surabaya 47 %  dan Medan 52 %.
Dari data PKBI tahun 2006 didapatkan bahwa kisaran umur pertama kali melakukan hubungan seks pada umur 13-18 tahun, 60 % tidak menggunakan alokon, 85 % dilakukan di rumah sendiri.

Menurut survey Komnas Perlindungan Anak di 33 Provinsi, Januari – Juni 2008 menyimpulkan :
1.    97 % remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno.
2.   93,7%  remaja SMP dan SMA  pernah ciuman, genital simulation (meraba alat kelamin dan oral sex (sex melalui mulut)
3.   62,7 % remaja SMP tidak perawan.
4.   21,2 % remaja mengaku pernah aborsi.

Faktor yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual (3  X lebih besar) adalah :
1.   Teman sebaya, yaitu mempunyai pacar.
2.    Mempunyai teman yang setuju dengan hubungan seks pra nikah
3.   Mempunyai teman yang mempengaruhi atau mendorong untuk melakukan seks pr nikah ( Analisa Lanjut SKRRI 3003)

Prilaku seks pra nikah remaja cenderung terus menimngkat seperti diuraikan diatas, sehingga kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) juga terjadi pada kelompok remaja. Disamping itu jumlah kelompok remaja  di Indonesia yang saat ini sudah menginginkan suatu pelayanan KB tersedia bagi kelompok mereka, ternyata datanya sanfat mencengangkan. 

Data SKRRI 2007 menunjukkan 90 % remaja perempuan dan 85 % remaja laki-laki menginginkan pelayanan KB diberikan kepada mereka. Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan  hasil SKRRI  2002 yang hanya 52 %  remaja perempuan dan 41 % remaja laki-laki masing –masing meminta untuk dapat diberikan pelayanan kontrasepsi.
Jika 90 % remaja perempuan dan 85% remaja laki-laki yang saat ini sudah menginginkan pelayanan alat kontrasepsi dikaitkan dengan jumlah remaja umur 15-24 tahun yang jumlahnya sekitar 42 juta jiwa, berarti sekita 37 juta jiwa remaja yang membutuhkan pelauyanan alat kontrasepsi tidak terpenuhi atau ummet need berKB untuk kelompok remaja.

Ummet need ber KB untuk kelompok remaja akan tetap menjadi ummet need, karena defiinisi Keluarga Berencana menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1992 tentang Perkembnangan Kependudukan dan Pengembnagnan Keluarga Sejahtera adalah untuk “Pasangan Suami Istri sesuai dengan pilihannya” Dengan demikian pemberian pelayanan kontrasepsi kepada remaja bertentangan dengan Undang-Undang.
·      
       Aborsi

Berdasarkan dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI, Rakyat Merdeka tahun 2006) yang merujuk pada data Terry Hull dkk (1933) dan Utomo dkk tahun 2001, didapatkan bahwa 2,5 juta pernah melakukan aborsi per tahun, 27% ( sekitar 700 ribu) dilakukan oleh remaja, dan sebagian besar dilakukan dengan cara tidak aman. Sekitar 30-35 % aborsi adalah penyumbang kematian ibu (307/100 ribu kelahiran) dan tercatat bahwa Angka Kematian Ibu (Mother Mortality Rate) di Indonesia adalah 10 kali lebih besar dari Singapura.

·      Narkoba

Berdasarkan data BNN 2004, menunjukkan bahwa 1,5 % dari jumlah penduduk Indonesia (3,2 juta jiwa) adalah pengguna narkoba. Dari jumlah tersebut, 78 % dianataranya adalah remaja usia 20-29 tahun.

·      HIV dan AIDS (Depkes 2009)

Secara komulatif jumlah kasus AIDS sampai dengab Sepetember 2009  sebesar 18.442 kasus. Berdasarkan cara penularannya secara komulatif dilaporkan antara lain melalui heteroseksual 49.7 %, IDU 40,& %, homoseksual 3,4 %, perinatal 2,5 % , transfuse darah 0,1 % dan tidak dikatahui 3,7 %. Menurut 4 golongan usia tertinggi adalag usia 20 – 29 tahun sebanyak 49,6 %,  usia 30-39 tahun 29,8 %, usia 40-49 tahun 8,7 %, usia 15-19 tahun 3,0%. Perbandingan persentase kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 74,5 % : 25,5 % atau 3 : 1.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa masalah remaja  Indonesia adalah :
1.      60 % remaja mengaku telah melakukan atau mempraktekkan seks pra nikah.
2.      70 % dari  pengguna Narkoba adalah remaja.
3.      50 % dari pengidap AIDS adalah kelompok umur remaja.

Jadi sejumlah itulah remaja Indonesia yang terganggu kesempatannya untuk melanjutkan sekolah, memasukki dunia kerja, memulai keluarga dan menjadi anggota masyarakat secara baik. Sejumlah itu pula remaja yang tidak siap untuk melanjutkan tugas dan peran sebagai generasi penerus bangsa.
Untuk merespon permasalahan remaja tersebut, Pemerintah (cq BKKBN) telah melaksanakan dan mengembangkan program PKBR yang diarahkan untuk mewujudkan Tegar Remaja dalam rangka Tegar Keluarga untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

 Ciri-ciri Tegar Remaja adalah :
 
1.      Remaja yang menunda pernikahan
2.      Remaja yang berprilaku sehat
3.      Terhindar dari dari resiko TRIAD KRR ( Seksualitas, Napza, HIV dan AIDS)
4.      Bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera
5.      Remaja yang dapat menjadi contoh/model
6.      Remaja yang menjadi idola dan sumber informasi bagi teman sebayanya.

Upaya untuk mewujudkan remaja Indonesia melalui program PKBR sesuai deng Bank Report, 2007)an konsep Tegar Remaja tersebut akan diupayakan melalui strategi  Tegar Remaja. Strategi Tegar Remaja merujuk pada lessons learned dari evaluasi prpgram ARH tahun 1990-2000, School af Pulic Health, University of Michigan USA 2005 dan evaluasi program di Asia, Afrika dan Amerika Latin (World Bank report 2007)

Strategi Tegar Remaja adalah program PKBR yang dilaksanakan melalui pengembangan factor-faktor pendukung (promotive factor) program PKBR dan remaja, dalam konteks dan situasi faktor resiko TRISD KRR. Program PKBR apabila tidak dilaksanakan dengan pengembangan factor pendukug tersebut akan mengakibatkan meningkatnya jumlah remaja yang bermasalah. Dengan meningkatnya jumlah remaja yang bermasalah,  akan mengganggu pencapaian tugas-tugas perkembangan remaja. 

Tugas-tugas pertumbuhan  dan perkembangan remaja tersebut adalah sebagai berikut :

1.  Tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangan remaja secara individual, yaitu pertumbuhan fiisik, perkembangan mental, emosional dan pspiritual.
2.  Tugas-tugas pertumbuhan dan perkembangan remaja secara sosia, yaitu melanjutkan sekolah, mencari pekerjaan, memulai kehidupan berkeluarga, menjadi anggota masyarakat yang normal dan mempreraktekan hidup sehat, seperti yang telah diuraiakan sebelumnya.

Akan tetapi apabila program PKBR didukung oleh ketiga factor pendukung, yaitu :

1. Peningkatan assets/capabilities remaja atau pengembangan segala sesuatu yang positif seperti terdapat pada diri remaja (pengetahuan, sikap, prilaku, hobi, minat dan sebagainya).
2. Pengembangan resources/opportunities, yaitu jaringan dan dukungan  yang diberikan kepada remaja dan program PKBR oleh semua stakeholders terkait ( orang tua, teman, sekolah, organisasi remaja, pemerintah, media massa dan sebagainya).
3.   Pemberian pelayanan ke sua (second chance) kepada remaja yang menjadi korban TRIAD KRR, agar bisa sembuh dan kembali hidup normal, maka pelaksanaan Program PKBR  akan nebghasilkan Tegar Remaja (TR) seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Salah satu kegiatan program PKBR yang mengembangkan ketiga strategi tersebut diatas, adalah kegiatan yang dilaksanakan